Sebuah buku yang dikarang Ibnu Ato`illah, yang lazim dikenal kalangan
santri kitab al-Hikam-al-ata'iyyah-, berserakan kemana-mana.
Berkeping-keping tafsirnya menyebar keruang diskursus jutaan orang
muslim. Dan sampai juga ditangan orang-orang muslim Indonesia. Konon
kitab ini mampu mengobati segala penyakit hati orang-orang muslim yang
sudah teramat kronis dan memberi petunjuk praktis bagi jalan kebenaran
hidupnya. Apabila menghayati dengan sepenuh jiwa, maka hati akan menjadi
bening dan pikiran menjadi terang benderang. Syahadat berkarat yang
melekat pada jemari telunjuk pun, apabila terkena setitis air hikmahnya
akan meluntur dan mengejang sepenuh jiwa menunjuk: “tiada tuhan apapun,
selain Allah dan Muhammad sebagai nabinya.”
Seiring perjalanan
waktu, entah apa sebabnya, kini kitab itu sekilas hanyalah secercah zat
kehendak sang pengarang yang bersemayam dan bersembunyi dibalik
coretan-coretan yang terlepas mengelupas dari topang kuasa jaman,
alih-alih, ia pun terhimpit diantara mega-mega pekat dunia pengetahuan
ilmiah. Laksana setitis embun yang bertengger pada daun kering
ditengah gurun pasir nan tandus, ia, menjadi tidak berarti apa-apa tanpa
ada mukjizat kepadanya. Dan ia pun lebih maklum disebut sekelumit doa
yang sedang berharap menyembuhkan penyakit kronis dunia muslim yang
sudah sekarat dari timur sampai kebarat.
Benarlah, ia hanyalah
sebongkah do`a yang sangat lemah lunglai dibawah tindasan bukit bukit
hasrat dengan lembah kepentingan yang berlapis-lapis. Bahkan ia takkan
terdengar dan tak tercium bau harumnya, apabila yang mendekat masih
berselimut tebal akal modernitas dan bercoreng moreng dengan lumpur
nafsu duniawi.
Kitab Alhikam yang berisi petunjuk memperbaiki dan
menata hati dan penunjuk kebenaran jalan hidup, itu semakin kehilangan
karomahnya apabila disanding dengan gegap gempita buku-buku yang
berlomba memenuhi nafsu angkara murka; buku adalah jendela menyingkap
alam raya, dengan buku manusia berteknologi canggih, bersama buku dan
teknologi manusia mengeksploitasi alam raya.
Sejatinya tidak
hanya kitab alhikam satu-satunya yang paling ampuh, masih banyak ribuan
kitab sejenis, namun semuanya berhikayat sama; merintih sedu sedan dalam
perjalanan nasib yang tragis. Terlibas oleh gemerlap peradaban dan
terhempas oleh arus besar globalasasi.
Banyak
yang tidak tahu, kecuali para pengarangnya yang telah wafat, bahwa
sesungguhnya ribuan kitab-kitab penyembuh penyakit hati dan petunjuk
jalan kebenaran hidup orang-orang muslim itu telah tercerabut intisari
keampuhanya. Pun kitab Al-hikam. Semua intisari kitab-kitab karangan
orang muslim yang telah wafat dan muktabar tersebut diserap kembali oleh
maha cahaya lauhul mahfud dalam lempengan-lempengan cahaya yang tak
terhingga. Intisari kitab Alhikam sendiri menjadi secuil lempengan
cahaya diantara bermilyar lempengan cahaya.
Sebagai penghuni maha
cahaya diatas segala cahaya, lempengan cahaya kitab Alhikam kerap kali
melesat kebumi menemui mereka-mereka yang mendapat hidayahNya.
Saat
menukik kebumi ia melesat dengan kecepatan diluar batas angan-angan.
Udara, awan gemawan, cuaca, terang, gelap dan bau-bauan penuh
kegembiraan bila sedang dilewatinya. Kecuali Iblis, dan Setan.
“Wahai lempengan cahaya, dari mana dan mau kemana engkau?” tanya Iblis
“Aku dari Lauhul Mahfud dengan tujuan bumi”
“Kenapa kami menjadi hancur bila nekat mendekatimu. Siapakah engkau?” tanya Setan.
“Aku
adalah intisari kitab Alhikam karangan Ibnu Ato`illah. Kalian tak kan
bisa mendekatiku karena aku adalah teridiri dari kumpulan iman yang
bercahaya, pengetahuan yang bercahaya, dan pikiran yang bercahaya.”
“Terlihatlah engkau sering meluncur kebumi, kali ini Anak adam siapakah yang akan kau temui?” Tanya Iblis.
“Dia sekarang ada dipondok pesantren Tanpa Papan Nama. Sudah dua bulan ia membasuh kotoran-kotoran nafsunya dengan pertaubatan.”
“Apakah engkau tidak salah alamat? Bukankah dia manusia yang penuh….. ”
Tak sempat menyelesaikan kata, tiba-tiba menggelegar seribu halilintar menghantam meremukkan wujud Iblis.
“Diharap kalian jangan mengganggu perjalanan setiap tugas suci. Biar kalian tidak hancur lebur karenanya ”
Sapuan warna memoles langit dengan hijau.
Sesayup bunyi menghantarkan suara.
Seberkas udara meniup suasana
Sebersit bau mengantar perjalanan
Lempengan cahaya kitab Alhikam melesat jauh, semakin jauh
Semua benda yang mengisi langit mengucapkan selamat tinggal
Yang padat, yang cair mencarikan jalan
Memasukkan gelap kedalam terang
Menghembuskan harum keseluruh bentangan
Merentang cakrawala, biru, kuning, hijau, ungu, merah, hitam
“Kami,
bintang-bintang, menyibak. Menebas rintangan, mumbuka jalan,” Seru
kelompok bintang ketika menyaksikan lempengan cahaya kitab Alhikam itu
meluncur.
Bintang-bintang saling beranggukan tanda kegembiraan.
Awan gemawan berarak cepat, seperti ditiup mulut langit. Kecepatan sinar
matahari ditahan sejenak, memberi senyuman pada lempengan cahaya kitab
Alhikam yang sedang melesat kepondok pesantren Tanpa Papan Nama didesa
Jambuan Jember-Jawa Timur.
Dan sampailah lempengan cahaya kitab
Alhikam pada tempat yang dituju. Pada malam jumat disebuah tempat suci,
dimasjid ponpes Tanpa Papan Nama, ia menjejak tanpa hentakan, teramat
halus lebih halus dari apapun, berkilauan membias kedalam lembar demi
lembar sebuah buku tua berwarna hijau yang sedang dibacakan oleh kyai
zuhud dalam pengajian tasawwufnya.
Ketika lempengan cahaya kitab
Alhikam meresap kedalam untaian kalimat yang berbaris indah dalam
bacaan, seringkali ia dinamai oleh Kyai Nurul Huda bersama para
jamaahnya, sebagai “diantara hidayah-hidayahNya.”
"Apakah engkau yang berwujud lempengan cahaya ini adalah salah satu diantara hidayah-hidadayahNya?" Tanya kyai Nurul Huda.
"Iya kyai." Jawab lempengan cahaya kitab Alhikam.
“Wahai
engkau diantara hidayah-hidayahNya yang berkilau indah tak terkira,
apakah engkau akan merasuk kembali kedalam kalbuku?” tanya Kyai Nurul.
“Tidak Kyai.” Jawab lempengan cahaya kitab Alhikam.
“Alhamdulillah,” kata Kyai Nurul dengan keadaan hati yang senantiasa riang.
“Wahai
engkau diantara hidayah-hidayahNya yang senantiasa menyapa terang
kehidupan kami dibumi, apakah kedatangan engkau demi membeningkan hati
kami yang sering terkotori oleh keluh kesah akan pertanian yang semakin
susah?” Tanya sebagian jamaah buruh tani
“Ataukah engkau akan
menerang benderang pikiran kami?” tanya sebagian jamaah yang berprofesi
sebagai pedagang cilok keliling, guru honorer, dan tukang becak.
“Tidak, bapak-bapak!” jawab lempengan cahaya kitab Alhikam
“Alhamdulillah,”kata kaum pinggiran itu serentak dengan hati yang lapang.
Tiba-tiba
lempengan cahaya kitab Alhikam melampaui cahaya lampu masjid, ia
berkelebat melesat dengan kecepatan yang tak bisa diangankan, dan
menukik tepat kedasar hati seorang pemuda. Pemuda itu bercelana jin,
berkaos oblong lusuh, tanpa kopyah dikepala. Sudah dua bulanan ia
mengasingkan diri disana. Ia sedang duduk khusuk merenung
wejangan-wejangan kyai Nurul Huda bersama barisan orang-orang desa
termarginal.
Setelah lempengan cahaya kitab alhikam itu merasuk
kedalam dirinya, lalu, wajahnya yang murung menjadi riang. Hatinya
menjadi bening lebih bening dari embun pagi. Pikirannya menjadi terang
benderang menembus hikmah-hikmah dibalik kehidupan.
Pemuda itu
menjadi berbinar-binar melihat dan mendengar dengan cahaya hatinya, kala
kyai Nurul yang zuhud itu menukil ayat-ayat yang terlampir dalam kitab
al-Hikam-al-ata'iyyah ”Dan tiadalah kamu berkehendak, kecuali apa yang
dikehendaki Allah, Tuhan yang mengatur seisi alam (at-Takwir: 29). “Dan
tiada kamu menghendaki kecuali apa yang di kehendaki oleh Allah.
Sungguh Allah Maha Mengetahui lagi Bijaksana.(Al Insan:30).
0 komentar:
Posting Komentar