Rabu, 25 Februari 2015

Filled Under:
,

Mengenal Tokoh Fenomenal di Balik Shalahuddin: Nuruddin Zanki

Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – “Ada cara yang menyenangkan untuk mengubah kepribadian anda agar menjadi selevel para ksatria islam yang terpisah zaman dan waktu; bacalah sejarah” (Felix Siauw, dalam bukunya Muhammad Al-Fatih 1453)
Sejarah Islam begitu harum aroma kepahlawanannya. Ia seperti jembatan antara peradaban yang unggul, generasi yang sholeh dan keberkahan langit yang tumpah ruah. Sudah berderat nama mencatatkan kebijaksanaan dan kebajikan untuk menciptakan dunia yang lebih baik, lewat sumbangan ilmunya, atau pengorbanannya, juga kepiawaiannya menata kesempatan menjadi momentum tepat yang akan dikenang sejarah.
Kita mengenal Shalahuddin, lebih tepatnya Sultan Shalahuddin Yusuf bin Najmuddin Al-Ayyubi (1137-1193 M), seorang ksatria, ulama, pemimpin, presiden, dan dermawan sekaligus yang dikenal baik di dunia Islam maupun di dunia Barat. Jika kita memanggilnya Shalahuddin, orang Eropa mengenangnya dengan “Saladin”, ditambah gelar singkat setelahnya “The Wise”. ‘Shalahuddin yang Bijaksana’ begitulah musuhnya menggelari beliau.
Pertemuan antara Shalahuddin Al-Ayyubi dan Richard The lion Heart selama 3 tahun (585-588 H) dalam peristiwa penyerangan Pasukan Salib Inggris atas kota laut Akka telah menggambarkan bagaimana Shalahuddin sejatinya, mewakili pemimpin dunia islam yang begitu bersahaja dan bijaksana.  Shalahuddin begitu sabar, selama 36 bulan bertahan, berjaga di garis pantai Kota Akka, sehingga membuat Pasukan Salib bergeleng kepala, begitu gigihnya ia menjaga wakaf umat Islam bernama Palestina.
Juga, ketika Richard The Lionheart jatuh sakit, Shalahuddin sendiri datang ke markasnya, membawa tabib dan mengurus perawatannya. Itulah mengapa begitu pulang dari ekspedisi Salib, ratusan ribu pasukan Eropa mulai meniru gaya hidup muslim; kesantunan, kepiawaian menata kebersihan diri, dan keuletan mencipta penemuan. Semua  itu begitu nyata dan alami, tidak dipaksakan apalagi dibuat-buat (Prof. Poeradisastra)
Lewat tulisan sederhana ini, saya ingin mengajak diri saya sendiri dan kawan-kawan untuk mengenal lebih dekat pada seorang tokoh besar. Shalahuddin kah? Kali ini tidak, justru kita akan berlayar dan mejelajah ke abad 10 Masehi untuk berkenalan dengan pelopor kebangkitan umat islam di abad itu. Kalau kita melihat Shalahuddin Al-Ayyubi sebagai inspirasi, maka tokoh ini adalah inspirasi bagi Shalahuddin.
Jika boleh menyederhanakan kisah, saya akan memulai kisah hidup tokoh ini dari sebuah nama; Nizam Al-Mulk, seorang menteri besar di zaman Dinasti Abbasiyah pada awal abad 5 Hijriah yang gencar melakukan pendidikan dan kaderisasi generasi muda Islam kala itu. Beliau berhasil mengkader seorang pemuda bernama Aq Sankar, menjadi prajurit shalih berwawasan luas. Aq Sankar mempunyai anak bernama Imaduddin Zanki, yang mewarisi semangat jihad ayahnya. Imaduddin Zanki kala itu dikenal dunia Islam sebagai orang yang menggemuruhkan lagi semangat jihad setelah lama tidak terdengar.
Kebesaran namanya makin jelas ketika Imaduddin berhasil menaklukkan kota Raha (Edessa) setelah 28 hari pengepungan, yang saat itu dikuasai pasukan Salib dari 22 negara Eropa. Betapa saat itu kabar kemenangan begitu langka, karena sebelum penaklukkan kota Raha, yang terdengar di dunia Islam hanya kabar kekalahan demi kekalahan telak melawan Tentara Salib. Namun, Imaduddin Zanki menepisnya, memunculkan harapan!
Seorang Imaduddin menjadi menteri pertahanan, lalu menyatukan kota-kota lain, membebaskannya dari cengkraman Salibis. Panjang perjalanan hidupnya telah menyalakan kembali api jihad yang saat itu seperti nyanyian sebelum tidur. Imaduddin Zanki menemui syahidnya ketika beliau ingin membebaskan benteng Ja’bar dari Pasukan Salib yang terletak di semenanjung sungai Eufrat. Ibnu Katsir mendokumentasikan sifat beliau seperti ini, “Sebaik-baik raja, memiliki citra yang paling baik, orang yang pemberani, cerdas dan tegas.”
Tapi ruh jihadnya tak mati, bahkan makin berkobar-kobar menyala pada diri seseorang. Siapa dia? Perkenalkanlah anak kandung Imaduddin Zanki; Nuruddin Mahmud Zanki, pelopor reformasi jihad sebenarnya!
***
“Saya terkagum-kagum dengan pengaruh yang saya lihat dan berita-berita yang saya dengar tentang Nuruddin”, kata Syihabuddin Abdurrahman bin Ismail Al-Maqdisi seorang Ahli Sejarah besar, “Padahal dia hidup pada kurun-kurun terakhir. Kemudian saya bandingkan dengan raja yang agung pada generasi setelah itu, raja yang selalu mendapat kemenangan, Shalahuddin. Hemat saya, kedua raja itu sebanding dengan Umar bin Al-Khattab dan Umar bin Abdul Aziz pada generasi terdahulu.”
Ditambah lagi perkataan dari DR. Muhammad Al-Abdah dalam bukunya Aya’idut Tarikh Nafsahu; Dirasat ‘an Alamil Islam qabla Shalahuddin, “Yang paling utama tentu saja Nuruddin, Dialah asal segala kebajikan. Dengan keadilan, jihad, dan wibawanya di saentero wilayah kekuasaannya, dia telah mempersiapkan semua itu.”
Nuruddin Mahmud adalah seorang Sultan berkebangsaan Turki yang lahir di Iraq, 511 H. Ia dididik oleh ayahnya, Imaduddin Zanki menjadi seorang lelaki yang berwaasan keagamaan luas, memiliki kecakapan dalam memimpin, dan keuletan dalam berkarya. Ia tumbuh dalam kezuhudan, tidak makan dan minum kecuali dari kepunyaannya sendiri, tanpa menyentuh satu koinpun kas Negara.
“Pada suatu hari”, terang seorang Petinggi Negara yang selalu menemani Sultan Nuruddin Mahmud,”saya berjalan bersamanya di kota Raha, di bawah terik matahari. Setiap kali kami melangkah, bayang-bayang kami berjalan mendahului. Ketika kami kembali, bayang-bayang kami berjalan mengikuti kami dari belakang”
“Apakah anda tahu mengapa saya memukul kuda agar berjalan dan saya menengok ke belakang?”, Tanya Sultan Nuruddin. “Tidak”, jawab sang Perwira tinggi. “Ketahuilah, riwayat kita dengan dunia ibarat kita dengan bayang-bayang kita. Ia lari ketika dikejar orang yang mencarinya, namun dia lari mengejar orang yang meninggalkannya.”
Wajar saja ketika banyak ulama menggelari beliau sebagai generator jihad di era itu. Semangatnya terbilang asing di telinga pemimpin-pemimpin dunia islam kala itu, membuat umat Islam memasang mata dan mencurahkan perhatiannya pada kinerja beliau yang berbasis konsep jihadi yang mengagumkan. Asing, namun memikat, dan menorehkan kemenangan-kemenangan harum.
Nuruddin Zanki, ketika beliau memasuki kota Mosul di Iraq, ia membumikan aturan Islam yang begitu bijaksana di dinas kepolisian. Padahal sebelumnya –sama dengan zaman ini- saat itu dinas kepolisian identik dengan nepotisme dan menguntungkan pihak penguasa. Justru dengan kekuasaan, Sultan Nuruddin membumikan kebenaran, sehingga tersemailah kedamaian, bermuncullah senyuman rakyat yang kian lama semakin mendukung perjuangan beliau.
Apa hubungan beliau dengan Shalahuddin Al-Ayyubi?
Dekat! Semenjak Nuruddin Zanki menaiki tahta kuasa dan menyemaikan kebenaran dengan kekuasaannya, ia menjadi inspirasi bagi generasi muda islam di eranya. Termasuk ia, seorang pemuda yang kelak akan meneruskan jejak mimpi Nuruddin Zanki membebaskan Yerusalem. Siapa lagi kalau bukan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Sejarah menorehkan kisahnya, dan alur cerita benar-benar padu menerangkan. Awal kedekatan ideologis antara Nuruddin Zanki dan Shalahuddin adalah ketika Sang Sultan mengutus Paman Shalahuddin, Asaduddin Syirkuh, untuk memimpin sepasukan besar tentara guna menyelamatkan Mesir dari kesewenang-wenangan Pasukan Salib dan hagemoni Syiah yang sesat.
Shalahuddin saat itu masih berusia relatif muda, dan ia baru mengikuti pamannya, Asaduddin Syirkuh, dalam ekspedisi ke Mesir untuk yang ketiga kalinya. Ekspedisi pertama berhasil dilancarkan Asaduddin dan menyelamatkan Mesir, namun Menteri Kerajaan Fathimiyah Mesir, Syaur As-Sa’di berkhianat. Dalam ekspedisi kedua, tentara Asaduddin merasakan kepiluan yang sangat, karena di Barat Kairo laju pasukan muslim berhasil dipatahkan pasukan Salib atas perintaan Menteri Kerajaan Syiah Fathimiyah mesir, Syaur As-Sa’di.
Pada ekspedisi ketiga inilah kemenangan dapat diraih. Pasukan Nuruddin Zanki yang dipimpin Asaduddin disertai dengan Shalahuddin berhasil menguasai pemerintahan Mesir. Akhirnya Asaduddin menjabat sebagai menteri para pemerintahan fathimiyah. Secara de facto, walaupun Mesir masih dikuasai Kerajaan Fathimiyah, namun pada hakikatnya penguasa sebenarnya adalah Asaduddin dan Shalahuddin.
Asaduddin tidak lama memerintah Mesir. Allah memanggil beliau setelah 2 bulan memerintah negeri tersebut. Kesempatan memimpin Mesir hadir di hadapan Shalahuddin, dan ia pun dengan brilian mengambilnya, lalu mengkondisikan Mesir –sesuai permintaan Nuruddin Zanki- menjadi Negeri yang bebas dari aqidah Syiah, dan kembali bergabung bersama negeri-negeri muslim yang beraqidah ahlussunnah.
Legenda Mimbar Nuruddin
Nuruddin Zanki, dengan segala keinginannya untuk membebaskan setiap jengkal negeri Islam dari jajahan musuh-musuhnya, telah membuat rakyatnya bergemuruh dalam semangat kebangkitan yang berdengung-dengung di setiap rumah. Seorang Ibu mengisahkan kepribadian Sultan pada anak-anaknya, para Ulama menggegarkan semangat membuka Yerusalem di setiap majelis-majelis pengajian, Para Ayah bekerja menyebar di muka bumi guna mempersiapkan jihad harta dan jiwa mereka hingga kemudian siap menyambut panggilan Sultan ke medan perang.
Guna mengkristalkan mimpinya, Sultan Nuruddin Zanki membuat sebuah mimbar indah yang fenomenal, dengan kayu terbaik dan ukiran kaligrafi terindah. Ia buat itu sebagai wujud dari tekad besar untuk membebaskan Masjid Al-Aqsha dari cengkraman Pasukan Salib. Mimbar itu ia buat, lalu ia bentangkan di tempat umum, sebagai simbol tekadnya yang terkristalkan, juga sebagai seruan untuk rakyatnya dalam berbangkit. Mimbar yang dipamerkan di muka umum ini seakan mengajak pada semua pasang mata yang melihatnya “Bawa aku! Bawa Aku ketika Al-Aqsha bebas! Kaulah yang akan jadi pembebasnya! Kaulah yang akan jadi pembebasnya!”
Namun sebelum Mimbar itu diantar dalam gilang gemilang kebebasan Yerusalem, Nuruddin Zanki wafat. Beliau, sang Sultan pelopor jihad itu telah meninggalkan jejak emas yang sebentar lagi berbuah kemenangan yang amat nyata. Semangatnya, jihadnya, spirit juangnya, dan kecemerlangan pemikirannya, terlebih mimbar yang ia buat sebagai simbol perjuangan telah berhasil memikar ummat islam sepenjuru arab untuk memikul tanggung jawab besar memenangkan mahkota Yerusalam, di mana Al-Aqsha berada di jantungnya.
Nuruddin Zanki, beliau wafat pada usia 59 tahun di tahun 1174 Masehi, selang 13 tahun setelah itu, tekadnya terbentang menjadi nyata dengan perantara penerusnya, Shalahuddin Al-Ayyubi, tepatnya dalam kemenangan 12.000 pasukan muslim pimpinan Shalahuddin dalam pertempuran Hattin tahun 1187 Masehi melawan 60.000 pasukan Salib pimpinan Guy de Lusignan.
13 tahun perlu menunggu, hingga mimbar yang mewakili tekad Nuruddin Zanki diantarkan dengan bersahaja menuju mimbar Al-Aqsha yang begitu berwibawa. Perkenalkanlah…. Namanya; Nuruddin Zanki!


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2015/02/05/63582/mengenal-tokoh-fenomenal-di-balik-shalahuddin-nuruddin-zanki/#ixzz3SpjpQAum 
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 It's About All.